Idul Fitri dan Pesan Keadilan Sosial
Oleh M. Imdadun Rahmat
Masyarakat muslim Indonesia memiliki tradisi yang unik. Selepas menunaikan ibadah puasa dan memperbanyak ibadah sunnah serta mohon ampun di bulan Ramadlan mereka melakukan “halal-bihalal”. Sebuah kegiatan massal untuk saling memperoleh permaafan dari sesama mereka. Tradisi khas ini didasari oleh ajaran agama bahwa untuk mendapatkan derajad fithri (bebas dari dosa-dosa), seorang muslim tidak hanya dituntut mendapatkan ampunan dari Allah tetapi juga harus mendapat permaafan dari sesama manusia. Singkat kata, mereka harus bebas dari beban “hak Allah” dan “hak adami” (hak sesama manusia).
Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, seseorang harus melakukan sebanyak-banyaknya ibadah dan amal kebajikan serta melakukan pertobatan yang hakiki (taubatan nashuha). Sedangkan untuk membebaskan diri dari dosa kepada orang lain syarat yang mesti dipenuhi adalah mendapatkan keridlaan dari yang bersangkutan serta mengembalikan hak yang diambil dari orang itu. Dengan demikian, untuk mencapai fithri seseorang tidak cukup dengan menghapus beban dosa kepada Allah tetapi juga menggugurkan dosa kita kepada sesama manusia. Selanjutnya, seseorang tidak lantas terhapus dosa kepada sesama hanya dengan meminta maaf, melainkan harus mengembalikan hak orang lain terlebih dahulu.
Berbicara mengenai hak menurut Islam selalu terkait dengan konsep keadilan dan kedlaliman. Keadilan dalam konsep Qur’an adalah memberikan hak kepada yang berhak. Sebaliknya, kedlaliman bermakna merampas hak seseorang dan mengalihkannya kepada dirinya atau orang lain yang tidak berhak. Keadilan ada dua bentuk: Pertama, adl am (keadilan yang bersifat umum). Ini adalah keadilan yang berkaitan dengan masalah publik yang merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Kedua, adl khas (keadilan yang bersifat khusus) yang menyangkut interaksi (muamalah) di antara sesama manusia.
Dalam melakukan halal-bihalal, acap kali dalam fikiran kita umat Islam tidak terlintas mengenai keadilan dan kadlaliman ini. Seolah-olah, persoalan pembebasan “hak adami” bisa tercapai hanya dengan kata maaf. Kesadaran ber halal-bihalal yang distorsif ini membuat kita menjadi permisif terhadap ketidak-adilan yang telah kita lakukan kepada orang lain maupun ketidakadilan yang hidup subur di sekitar kita. Padahal kefitrian yang sejati hanya bisa dicapai dengan penegakan keadilan; pengembalian hak yang terampas dari kaum mustadz’afiin (orang yang dilemahkan oleh ketidakadilan).
Keadilan memiliki posisi yang sangat tinggi dalam Islam. Bahkan, kedilan tidak saja menjadi tujuan akhir sariat Islam tetapi juga tujuan akhir seluruh agama samawi: “Telah Kami utus Rasul-rasul Kami dengan penjelasan (al-bayyinat) , dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan al-Mizan agar manusia menegakkan keadilan”. (al-Hadid, 25). Keadilan merupakan perintah Allah kepada para nabi dan kewajiban bagi kaum muslim: “Dan telah Aku perintahkan agar berbuat adil di antara kalian”. (al-Syura, 15); “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berbuat adil” (al-nahl, 90); “Wahai orang-orang beriman jadilah kalian para penegak keadilan” (al-Nisa’ 135); “sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk memenuhi amanat kepada yang berhak, dan jika kalian mengadili antara manusia maka adililah dengan adil” (al-Nisa’ 58).
Berbuat adil merupakan nilai yang absolut yang harus ditegakkan dalam segala situasi, bahkan dalam manghadapi musuh: “dan janganlah kebencian kalian atas suatu kaum membuat kalian tidak berlaku adil, adillah, ia lebih dekat kepada taqwa” (al-maidah, 8); “maka jangan kalian memperturutkan hawa nafsu agar kalian berbuat adil” (al-nisa’ 135).
Fahmi Huwaydi (seorang cendekiawan terkemuka Mesir) mengatakan dalam “Al-Qur’an wa Al-Sulthan”: “Jika kita mencari padanan kata yang praktis, ringkas dan konprehensif dalam satu kata dari segala yang dikandung syariah, kita tidak akan menemukan padanan selain “keadilan”. Jika tauhid merupakan penyangga aqidah maka keadilan adalah penyangga syariah. Praktek keislaman yang benar tidak akan tuntas jika dua sisi tersebut tidak saling menguatkan. Selain itu, jika kita hanya membatasi pada salah satunya dan mengabaikan yang lain, maka hanya akan menghasilkan proses yang menyimpang dan bagaimanapun tidak akan mampu menegakkan prkatek keislaman.”
Senada dengan ini, Imam Syatibi mengatakan dalam “al-muwafaqat”: keadilan di antara manusia adalah tujuan yang dicita-citakan oleh syariat Islam. Dalam bab lain ia mengatakan bahwa tujuan syariat adalah memelihara lima kemashlahatan asasi: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Ini juga ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dan para ulama ushul yang lain. Lima kemashlahatan ini jika terwujud akan melahirkan keseimbangan sosial dan ini merupakan inti keadilan.
Imam Ibnu Qayyim dalam “I’lam al-muwaqqiin” lebih jauh menegaskan bahwa Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci dengan tujuan agar manusia bisa berlaku adil. Sebab, keadilan merupakan landasan tegaknya langit dan bumi. Menurut Ibn Al-Qayyim, jalan apapun yang mengarah kepada pencapaian keadilan sama maknanya dengan jalan yang mengarah kepada Allah.
Ibnu Taymiyyah dalam buku “al-khisbah” mengatakan: berbagai urusan manusia di dunia akan lebih sering ditegakkan dengan keadilan meski di dalamnya terkontaminasi dengan berbagai dosa, daripada ditegakkan dengan kedlaliman terhadap hak-hak meskipun tidak terkontaminasi dosa. Selain itu, Ibnu Taymiyyah mengatakan: “Allah menegakkan sebuah negara yang adil meskipun kafir dan tidak akan menegakkan negara dlalim meskipun muslim.” Ia juga mengatakan: Dunia akan bertahan dengan keadilan dan kekafiran dan tidak akan survive dengan kedlaliman dan Islam.
Kendati telah demikian jelas derajad keadilan menurut Islam, keadilan tidak kunjung hadir dalam kesadaran keberagamaan kita. Persoalan ini kita anggap sebagai masalah duniawi yang tak ada sangkut-pautnya dengan kewajiban kita sebagai muslim. Untuk mengukur kesalehan, kita hanya menghitung seberapa taat kita melakukan ibadah mahdlah; shalat, puasa, haji, zakat, baca Qur’an, dzikir dan seterusnya. Islami atau tidak sebuah masyarakat dilihat sekedar dari ramai atau tidaknya masjid, mushalla dan majlis taklim. Tak banyak dari kita yang atas dasar dorongan rasa keislaman melakukan kerja-kerja solidaritas dan pembelaan terhadap kaum mustadz’afiin, mereka yang didlalimi.
Kesadaran keagamaan yang timpang ini mesti diseimbangkan dengan cara pandang yang baru. Bahwa selain soal mengabdi kepada Allah, Islam juga menuntut penegakan keadilan di sekitar kita. Wajah keislaman kita mesti menengadah ke langit serta menekuri bumi. Semangat kita mengejar kefitrian seyogyanya menjadi daya dorong untuk membangun kesalehan kepada Tuhan dan juga kesalehan kepada sesama. Pertanyaan penting adalah sudahkah idul fitri tahun ini mengubah kita menjadi seseorang yang adil dan peduli dengan perjuangan penegakan keadilan?. Wallahu a’lam.
Dituang oleh :
M.Imdadun Rahmad
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
mudah mudahan kita mendapatkan kemenangan di hari yang fitri mohon maaf lahir dan batin shahabat
salam sobat
selamat menyambut hari kemenangan sobat...
selamat menyambut hari raya Idhul Fitri 1430H.
saya sekeluarga mengucapkan minal aidhin walfaidzin,mohon maaf lahir dan batin.
bagus sob... selamat Idul Fitri.. Mohon Maaf Lahir Batin...
mudah-mudahan saya menjadi oarang yang putih bersih lagi...
amin
Fauzan NR [ fhom.blogpsot.com ]
maaf, nih ganggu sebentar...
ada PR buat anda dikerjakan ya!
Fauzan NR [ fhom.blogpsot.com ]
Dapatkan penghasilan secara islami klik aj disini.
Posting Komentar