10 November 2009

KIAMAT 2012

Produk Allah swt bernama manusia memang unik. Klaim "The exelent Product" pun disandangnya berdasar lisensi Sang Produsen dengan jargon, Ahsani Taqwiim.
Salah satu feature keunggulan manusia dibanding produk sejenis flora dan fauna adalah manusia dibekali chip supercanggih bernama akal.

Selain fungsi akal yang bersifat multifunction bahkan unlimited function, Akal pulalah yang mendorong manusia ingin mengetahui segala hal. Menyikapi aplikasi produkNya, Allah swt menerapkan sistem Guidence dan controling.

Sistem Guidance teraplikasi melalui wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan RasulNya yang berujud syariat sesuai kondisi sosiogeografis dan kultural dimana produk "manusia" berada.

Sedang controling, meskipun line koneksinya sama, yakni wahyu, Allah swt memasang sistem yang akan bekerja dan bersifat otomatis. Allah swt menggunakan bahasa "ilham" untuk koneksi pada sistem ini.

Oleh karenanya, dengan sistem Guidance, Allah swt pernah membenamkan informasi kepada akal manusia bahwa suatu saat akan terjadi kehancuran yang luar biasa sebagai akhir dari kehidupan dunia, hari kiamat.

Akal manusia pun merespon dengan cepat informasi itu. Akal yang berdasar logika akan selalu me"ngompori" manusia untuk mencari-cari tahu tentang hari akhir sampai dahaga "masuk akal" terobati.

Untuk mengimbangi kinerja akal yang cenderung "liar", Allah swt membenamkan soft ware yang disebut hati. Piranti lunak inilah yang diharapkan mampu menjalankan fungsi Controling terhadap akal yang merupakan hard ware dalam produk super canggih bernama manusia. Hati pulalah yang berfungsi sebagai server, yang menerima dan menterjemahkan bahasa ilham kepada manusia.

Dengan tekhnologi "fitrah" (kesucian) yang integrated pada hati, fungsinya tak akan lekang oleh waktu dan akan selalu aktif selama manusia masih hidup.

Terkadang manusia lupa, meski canggih dan multifungsi, kapasitas akal tetap ada batasnya. Hati-lah yang kemudian mengambil "peran" dalam situasi over load tersebut. Bila soft ware di instalasi dengan hal-hal yang baik, maka ia akan menuntun manusia ke jalan yang fitrah.

Sebaliknya, ia akan menuntun ke jalan yang gelap bila tak diprogram dengan baik, sehingga yang akan terjadi adalah human eror. Bentuknya macam-macam, mulai yang paling ringan, stress atau frustasi, sampai yang paling berat gila atau matot (mati total, mendadak).

Maksud awalnya dan sampai kapanpun, Allah swt hanya ingin memberitahukan saja kepada manusia bahwa hari kehancuran akan terjadi. Dia secara sengaja mengaburkan kapan pastinya kiamat itu terjadi.

Meski manusia telah tahu bahwa terjadinya kiamat sengaja "dikaburkan" oleh Allah swt, akal manusia tak jemu-jemunya melakukan searching tentang hal itu.

"Mengaburkan", sebab Allah swt melalui lisan Nabi saw hanya memberi bocoran tanda-tanda terjadinya hari pembalasan tersebut. Namun, pastinya Allah swt yang tahu.

Simak, Qs. Muhammad (47) : 18, "Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila hari kiamat sudah datang?

Justru, ketidakjelasan itu "baik" untuk manusia. Dapat kita bayangkan, bila Allah swt secara blak-blakan sharing kepada manusia kapan pasti kiamat akan terjadi. Dapat dipastikan, semua manusia akan berjuang dan berlomba untuk mempersiapkan bekal menuju akhirat nanti.

Dengan demikian, grand project Sang Creator, Allah swt bakal gagal. Sebab, akal sebagai piranti keras yang denganya manusia dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri, taat atau tidak taat, shalih atau thalih, malfunction alias tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

Simak, Thaha (20) : 15-16 : "Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa".
Disinilah letak pentingnya wahyu yang terangkum dalam kitab suci. Sekali lagi, Dengan akal, manusia diberi pilihan antara berpegang pada kitab suci yang berujung selamat atau sebaliknya melepas kitab suci dan berakibat celaka.

Wajar, bila hampir setiap masa kenabian, pertanyaan tentang hari kiamat tak pernah usai. Sampai masa akhir kenabian, zaman nabi Muhammad saw dan sampai kapanpun, pertanyaan serupa masih akan terjadi.

Bahkan, di abad modern ini, isu hari kiamat kembali mengemuka dan menjadi buah bibir manusia seantero jagad. Simak ayat berikut, Qs. al A'raaf (7) : 187, "Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".

Redaksi asli yang perlu digarisbawahi pada ayat di atas adalah "la yujalliiha liwaqtihaa illa huwa". Bentuk kalimat ini menggunakan itstisna' atau pengecualian.

Dalam studi gramatikal arab, ketika sebuah pernyataan menggunakan bentuk itstisna, maka mengandung penekanan makna yang dalam terhadap pengecualian tersebut.

Perhatikan contoh berikut, Allaahu ilahun, artinya Allah adalah Tuhan. Kalimat ini masih mengandung pengertian bahwa bisa jadi selain Allah swt masih ada Tuhan yang lain.

Berbeda bila diungkapkan Laa Ilaaha Illallaaha, artinya tiada Tuhan selain Allah. Nah, kalimat ini menegaskan benar-benar tidak ada Tuhan selain Allah swt, hanya Dia semata.

Kita kembali kepada redaksi ayat di atas, Laa Yujalliiha li waqtihaa illa Huwa. Dari sini, saya yakin Anda sudah paham. Benar, tidak ada siapapun yang dapat mengungkap kapan terjadinya hari kiamat itu kecuali Dia, Allah swt.

Ayat di atas ditegaskan lagi oleh Allah swt pada ayat lainnya, simak Qs. Al Ahzaab (33) : 63, " Manusia bertanya kepadamu (muhammad) tentang hari berbangkit. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah". Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya."

Dan juga pada ayat-ayat berikut, Qs. Lukman (31) : 34, "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Qs. Fusshilat (41) : 47, "Kepada-Nya lah dikembalikan pengetahuan tentang hari kiamat.Dan tidak ada buah-buahan keluar dari kelopaknya dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan, melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Pada hari Tuhan memanggil mereka: "Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu?"; mereka menjawab: "Kami nyatakan kepada Engkau bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang memberi kesaksian (bahwa Engkau punya sekutu".

Qs. Az Zukhruf (43) : 85, "Dan Maha Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan apa yang ada di antara keduanya; dan di sisi-Nya lah pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan".

Dengan banyaknya ayat yang menegaskan bahwa perkara hari kiamat itu hanya Allah swt yang tahu, melalui perangkat studi ilmu asraarut tikraar fil Quran (rahasia pengulangan dalam Al-Qur'an), menyiratkan kepada kita beberapa hal, diantaranya :

Pertama, pertanyaan tentang hari kiamat itu akan selalu ada sepanjang zaman sampai haari kiamat benar-benar terjadi. Sebab, semakin sesuatu itu kabur dan samar, manusia, dengan rasa ingin tahunya yang besar, akan melakukan segala upaya untuk mengungkapnya.

Kedua, menandaskan sifat dasar manusia yang cenderung "bandel" dan "susah" menerima informasi meski benar adanya. Mungkin, software-nya perlu di install ulang untuk mengeliminir virus-virus yang mengganggu kinerjanya.

Program yang harus diinstall adalah menjalankan perintah Allah swt dan Nabi saw serta menjauhi laranganNya. Adapun antivirus-nya adalah membaca dan menelaah kitab suci, Al-Qur'an.

Ketiga, bukti kasih sayang Allah swt kepada manusia. Dia tak akan jemu-jemunya mengingatkan manusia melalui firmanNya. Dengan "ghaib"nya hari kiamat, celah bagi Iblis dan kaki tanganya untuk menggoda manusia masih terbuka. Tentu, targetnya adalah manusia yang lalai dan lemah imannya. Sehingga, Allah swt masih merasa perlu untuk mengingatkan manusia secara berulang-ulang.

Kalaupun nanti, 2012, terjadi malapetaka, apapun itu, namun tidak sampai kiamat, bukan berarti mama lauren dapat menerawang dan mengetahui apa yang akan terjadi.

Seperti diketahui, Jin, sebagai core produk manusia, dengan spesifikasi yang berbeda, dengan kemampuannya menembus ruang, memiliki kebiasaan buruk.

Kebiasaan itu adalah mencuri informasi yang ber-level Top Secret. Yaitu, tentang takdir manusia dan alam ini. Namun, kebiasaan itu tak dapat lagi dilakukan setelah nabi Muhammad saw terlahir di dunia ini.

Simak, Qs. Al Jin (72) : 8-9, " dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang (setelah risalah Muhammad saw) barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya)."

Dengan kata lain, lahirnya Muhammad saw merupakan moment yang membawa sial bagi Iblis dan anak turunnya. Sebab, senjata ampuh menggoda manusia, mengiming-imingi informasi sesuatu yang akan terjadi dan kemudian di tukar dengan keluarnya manusia dari jalan tauhid, hilang dan sirna.

Memang, entah kenapa, bagi manusia, mengetahui apa yang akan terjadi merupakan sebuah kebanggaan luar biasa. Atau bisa jadi bekal kesombongan dan kecongkakan dirinya.

Adapun, jikalau informasi yang mereka berikan kepada manusia menjadi kenyataan, bukan lantaran mereka, para jin, mengetahui akan apa yang bakal terjadi. Melainkan, sekali lagi dengan kemampuan mereka, mereka dapat membaca gejala alam ini lebih dahulu dari pada manusia.

Bila manusia, khususnya di Indonesia punya BMG (badan meteorologi dan geofisika), mereka Jin juga punya lembaga sejenis, entah apa namanya, bahkan bisa jadi jauh lebih maju dan canggih.

Hal ini dapat ditengarai, betapa peradaban Jin lebih maju dibanding manusia. Mereka pernah membantu manusia mewujudkan peradaban yang maju, yakni pada zaman Nabi Sulaiman as. Mereka dapat melakukan apa yang tak dapat manusia lakukan saat itu.

Simak, Qs. Saba (34) : 13, " Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku)….".
Namun, sekali lagi, jin tidak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi, termasuk kiamat, bila memang mereka, golongan jin, memberitahukan tentang kapan hari akhir itu terjadi.

Buktinya, mereka pun tak tahu, kala Sulaiman as, yang duduk mengawasi mereka (para jin) sedang bekerja, telah wafat, jikalau tongkat tempat Sulaiman as menyandarkan tubuhnya keropos dan putus di makan rayap dan tubuhnya tersungkur. Dengan kata lain, Jin, tidak mengetahui tentang sesuatu yang akan terjadi, dalam hal ini ajal.

Akhir kata, Allah swt berfirman, Qs. An Naazi'aat (79) : 42, "(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya?. Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit).

Ayat tersebut mengandung pesan, tak penting buat kita meributkan kapan pastinya hari kiamat terjadi, bahkan terlintas dalam pikiran kita pun sebaiknya, tidak!.

Yang terpenting untuk kita adalah mempersiapkan bekal sebelum kematian menjemput. Siapa tahu, sebelum 2012, ajal kita telah terlebih dahulu tiba. Irham Lana Ya Rabb, Wallaahu A'lam…


H.M.Ziyad Ulhaq. SQ. MA.

Direktur Abjad Fondation Lembaga kajian Al-Qur'an, Keislaman dan Pengabdian Masyarakat Pamulang, Tangerang, Banten.

25 Oktober 2009

SIM ( SURAT IJIN MENJADI IMAM )

Adzan Maghrib berkumandang. Selesai Wudlu, aku melangkahkan kakiku memasuki masjid. Sontak aku kaget melihat pemandangan sekelompok orang yang saling dorong-mendorong. Pikirku, mereka hendak berkelahi. "kok, berantem di Masjid sih", gumamku. Eh, ternyata mereka saling dorong-mendorong diantara mereka untuk menjadi Imam Shalat. "Lho, agama itu kan ada aturannya, terlebih ibadah, kita tidak boleh mengambil inisiatif sendiri dan sudah ada aturan baku. Apakah benar demikian cara memilih imam shalat, saling dorong, siapa mau, atau bahkan diundi. kayak judi aja", kata hatiku.

Bila kita hendak melakukan perjalanan, satu hal yang perlu kita persiapkan yakni alat transportasi. Saya tak hendak membahas secara panjang lebar persiapan perjalanan yang bersifat kurang pokok semisal bekal makanan, obat-obatan dan sebagainya, tetapi saya akan berbicara tentang satu hal yang tak mungkin di abaikan dalam sebuah perjalanan, alat transportasi.

Jika kedudukan kita sebagai penumpang, tak banyak persoalan. Namun bila posisi kita sebagai driver atau pengemudi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan aturan yang tak boleh di langgar.
Diantaranya, pengemudi harus memiliki surat izin mengemudi (SIM). Surat ini dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yaitu kepolisian setelah melalui beberapa tahapan tes keahlian mengemudi.
Tentu, keahlian mengemudi diperoleh dengan belajar mengemudi, baik melalui kursus mengemudi ataupun belajar sendiri dengan dibimbing seorang instruktur yang ahli.
Pastinya, siapapun tak akan mau membahayakan dirinya dengan menaiki kendaraan yang dikemudikan oleh orang yang kurang ahli mengemudi, atau bahkan tak bisa mengemudi.
Tak pandang bulu, meski seseorang itu tua, atau memiliki jabatan sosial yang tinggi, atau bahkan ajengan atau priyayi, selama ia tak memiliki keahlian mengemudi maka sekali lagi tak seorangpun akan bersedia ikut menaiki kendaraan yang dikendalikannya. Sebab, dapat dipastikan akan nabrak dan sangat membahayakan tidak hanya dirinya tapi juga orang lain.
Seorang pengemudi dituntut agar selalu sehat dan fit saat berkendara. Dengan kata lain, ia tak boleh mengantuk karena dapat berakibat fatal terhadap nyawa penumpang mobil yang dikendalikannya.
Selain itu, ia juga diharuskan mengetahui berbagai rambu atau marka jalan, agar tidak menganggu sesama pemakai jalan. Idealnya, seorang pengemudi juga memahami seluk beluk mesin kendaraan atau paling tidak dapat memperbaiki bila ada kerusakan ringan.
Singkat kata, tanggung jawab seorang pengemudi sangatlah besar. Semua persyaratan tersebut tak lain bertujuan agar perjalanan itu nyaman dan selamat sampai tujuan.

Layaknya sebuah safar, shalat merupakan perjalanan spiritual seorang hamba kepada Tuhannya. Tentu, sebagaimana kita mempersiapkan segala sesuatu saat bepergian, begitu pula bila kita hendak shalat.
Shalat ibarat kendaraan yang memerlukan seorang pengemudi yaitu Imam. Seperti halnya driver, Imam juga diharuskan memenuhi persyaratan tertentu.
Diantaranya, ia harus mengetahui dan memahami seluk beluk shalat, syarat dan rukunnya serta hal-hal yang membatalkannya.
Tak hanya itu, ia juga dituntut bagus bacaan Al-Qur'an nya. Sebab, ayat al-Qur'an (al Fatihah) ibarat kemudi pada shalat. Tanpa kemudi, kendaraan tak dapat dijalankan dan tanpa bacaan Al Fatihah yang sempurna, shalat tidak sah.

Nah, untuk lebih jelasnya, ada beberapa kriteria seseorang dapat menjadi imam shalat :
Pertama, Aqrauhum li Kitaabillah. Artinya seseorang yang hendak menjadi imam shalat haruslah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur'annya. Ia mengetahui, memahami dan dapat mempraktekkan dengan baik ilmu tata baca Al-Qur'an (tajwid) dan kejanggalan baca (Gharaib al Qiraa'at), ilmu memulai dan berhenti dalam membaca Al-Qur'an (al Waqf dan al Ibtida), dan ilmu lain yang terkait. Terlebih, bila ia juga hafal Al-Qur'an akan lebih baik lagi.
Kedua, Al Alim Fiqha Shalaatihi. Artinya seseorang yang hendak menjadi imam shalat haruslah orang yang mengetahui dan memahami seluk beluk shalat dari sisi fiqh (hukum islam), mencakup syarat, rukun, manduubat (hal-hal yang dianjurkan, sunah, dalam shalat), mubthilaat (hal-hal yang membatalkan dalam shalat) dan sebagainya.
Ketiga, Aqdamuhum Hijratan. Artinya seseorang yang berhak menjadi imam shalat setelah ahli Al-Qur'an dan ahli Hukum tidak ada adalah orang yang paling shalih dan taat. Hijrah di sini tidak dalam arti sempit melainkan siapa yang terlebih dahulu taat. Bila jama'ah terdiri dari orang-orang yang baru masuk islam (muallafuun)maka yang berhak menjadi imam adalah orang yang terlebih dahulu memeluk islam. Singkat kata, orang yang paling shaleh dan taat beragama, menjalankan ritual baik pribadi atau sosial tanpa pandang umur baik tua maupun muda berhak menjadi imam.
Keempat, Akbaruhum Sinnan. Artinya seseorang yang berhak mejadi imam shalat setelah Ahli Al-Qur'an, Ahli Hukum, Ahli ibadah (taat beragama) adalah orang yang paling tua. Sebab, logikanya orang yang paling tua lebih banyak ibadahnya dibanding yang muda. Bila sebaliknya, maka yang muda-lah yang berhak menjadi imam sebab ia masuk dalam kategori ketiga, yang paling taat beragama tanpa memandang umur.
Nah, inilah kriteria seseorang dapat menjadi imam shalat dan berhak memiliki Surat Izin Imam Shalat (SiiS). Memang, SiiS tidak berbentuk kartu seperti atm dan dikeluarkan oleh instansi tertentu melainkan tanggung jawab pribadi dan atau komunitas jama'ah tertentu.
Mengingat, tanggung jawab seorang imam amatlah besar. Tidak hanya di dunia namun juga di akherat kelak. Sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, : (para imam) saat memimpin shalat kalian (bertanggungjawab penuh). Bila mereka (para imam) bertindak sebagai imam dengan benar (mengetahui dan memenuhi syarat, rukun, wajib, sunnah dan sebagainya) maka kalian akan mendapatkan ganjaran setimpal, termasuk para imam. Sebaliknya, bila mereka bertindak tidak benar (bodoh, tidak mengerti seluk beluk shalat sehingga berbuat kesalahan) maka kalian akan mendapat ganjaran setimpal, tidak termasuk imam. Ia akan mendapat sangsi di akherat nanti".

Oleh karenanya, bila Anda tidak memiliki kriteria di atas jangan coba-coba untuk menjadi imam shalat bila tak ingin menanggung resikonya.
Namun, bila anda hendak shalat berjama'ah dan tak ada satupun jamaah yang memiliki kriteria di atas atau anda tidak tahu siapa yang memiliki kriteria di atas diantara para jamaah, sebaiknya anda bertindak bijak dengan menanyakan siapa diantara jamaah yang memiliki spesifikasi imam seperti diatas.
Semoga uraian diatas menyadarkan kepada kita bahwa agama itu tidak melihat bangsa, warna kulit, suku, ras, status sosial dan sejenisnya. Agama menempatkan mereka yang memiliki ilmu pengetahuan diatas yang lainnya. Sejatinya, agama tidak repot atau bahkan sulit bila kita menjalankannya dengan benar dan didasari oleh ilmu dan pengetahuan. Wallaahu A'lam…


H.Ziyad Ulhaq at Tubany.SQ. MA
Direktur Abjad Fondation Lembaga Kajian Al-Qur'an dan Keislaman



15 September 2009

IDUL FITRI DAN PESAN KEADILAN SOSIAL

Idul Fitri dan Pesan Keadilan Sosial
Oleh M. Imdadun Rahmat

Masyarakat muslim Indonesia memiliki tradisi yang unik. Selepas menunaikan ibadah puasa dan memperbanyak ibadah sunnah serta mohon ampun di bulan Ramadlan mereka melakukan “halal-bihalal”. Sebuah kegiatan massal untuk saling memperoleh permaafan dari sesama mereka. Tradisi khas ini didasari oleh ajaran agama bahwa untuk mendapatkan derajad fithri (bebas dari dosa-dosa), seorang muslim tidak hanya dituntut mendapatkan ampunan dari Allah tetapi juga harus mendapat permaafan dari sesama manusia. Singkat kata, mereka harus bebas dari beban “hak Allah” dan “hak adami” (hak sesama manusia).

Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, seseorang harus melakukan sebanyak-banyaknya ibadah dan amal kebajikan serta melakukan pertobatan yang hakiki (taubatan nashuha). Sedangkan untuk membebaskan diri dari dosa kepada orang lain syarat yang mesti dipenuhi adalah mendapatkan keridlaan dari yang bersangkutan serta mengembalikan hak yang diambil dari orang itu. Dengan demikian, untuk mencapai fithri seseorang tidak cukup dengan menghapus beban dosa kepada Allah tetapi juga menggugurkan dosa kita kepada sesama manusia. Selanjutnya, seseorang tidak lantas terhapus dosa kepada sesama hanya dengan meminta maaf, melainkan harus mengembalikan hak orang lain terlebih dahulu.

Berbicara mengenai hak menurut Islam selalu terkait dengan konsep keadilan dan kedlaliman. Keadilan dalam konsep Qur’an adalah memberikan hak kepada yang berhak. Sebaliknya, kedlaliman bermakna merampas hak seseorang dan mengalihkannya kepada dirinya atau orang lain yang tidak berhak. Keadilan ada dua bentuk: Pertama, adl am (keadilan yang bersifat umum). Ini adalah keadilan yang berkaitan dengan masalah publik yang merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Kedua, adl khas (keadilan yang bersifat khusus) yang menyangkut interaksi (muamalah) di antara sesama manusia.

Dalam melakukan halal-bihalal, acap kali dalam fikiran kita umat Islam tidak terlintas mengenai keadilan dan kadlaliman ini. Seolah-olah, persoalan pembebasan “hak adami” bisa tercapai hanya dengan kata maaf. Kesadaran ber halal-bihalal yang distorsif ini membuat kita menjadi permisif terhadap ketidak-adilan yang telah kita lakukan kepada orang lain maupun ketidakadilan yang hidup subur di sekitar kita. Padahal kefitrian yang sejati hanya bisa dicapai dengan penegakan keadilan; pengembalian hak yang terampas dari kaum mustadz’afiin (orang yang dilemahkan oleh ketidakadilan).

Keadilan memiliki posisi yang sangat tinggi dalam Islam. Bahkan, kedilan tidak saja menjadi tujuan akhir sariat Islam tetapi juga tujuan akhir seluruh agama samawi: “Telah Kami utus Rasul-rasul Kami dengan penjelasan (al-bayyinat) , dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan al-Mizan agar manusia menegakkan keadilan”. (al-Hadid, 25). Keadilan merupakan perintah Allah kepada para nabi dan kewajiban bagi kaum muslim: “Dan telah Aku perintahkan agar berbuat adil di antara kalian”. (al-Syura, 15); “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berbuat adil” (al-nahl, 90); “Wahai orang-orang beriman jadilah kalian para penegak keadilan” (al-Nisa’ 135); “sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk memenuhi amanat kepada yang berhak, dan jika kalian mengadili antara manusia maka adililah dengan adil” (al-Nisa’ 58).

Berbuat adil merupakan nilai yang absolut yang harus ditegakkan dalam segala situasi, bahkan dalam manghadapi musuh: “dan janganlah kebencian kalian atas suatu kaum membuat kalian tidak berlaku adil, adillah, ia lebih dekat kepada taqwa” (al-maidah, 8); “maka jangan kalian memperturutkan hawa nafsu agar kalian berbuat adil” (al-nisa’ 135).

Fahmi Huwaydi (seorang cendekiawan terkemuka Mesir) mengatakan dalam “Al-Qur’an wa Al-Sulthan”: “Jika kita mencari padanan kata yang praktis, ringkas dan konprehensif dalam satu kata dari segala yang dikandung syariah, kita tidak akan menemukan padanan selain “keadilan”. Jika tauhid merupakan penyangga aqidah maka keadilan adalah penyangga syariah. Praktek keislaman yang benar tidak akan tuntas jika dua sisi tersebut tidak saling menguatkan. Selain itu, jika kita hanya membatasi pada salah satunya dan mengabaikan yang lain, maka hanya akan menghasilkan proses yang menyimpang dan bagaimanapun tidak akan mampu menegakkan prkatek keislaman.”

Senada dengan ini, Imam Syatibi mengatakan dalam “al-muwafaqat”: keadilan di antara manusia adalah tujuan yang dicita-citakan oleh syariat Islam. Dalam bab lain ia mengatakan bahwa tujuan syariat adalah memelihara lima kemashlahatan asasi: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Ini juga ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dan para ulama ushul yang lain. Lima kemashlahatan ini jika terwujud akan melahirkan keseimbangan sosial dan ini merupakan inti keadilan.

Imam Ibnu Qayyim dalam “I’lam al-muwaqqiin” lebih jauh menegaskan bahwa Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci dengan tujuan agar manusia bisa berlaku adil. Sebab, keadilan merupakan landasan tegaknya langit dan bumi. Menurut Ibn Al-Qayyim, jalan apapun yang mengarah kepada pencapaian keadilan sama maknanya dengan jalan yang mengarah kepada Allah.

Ibnu Taymiyyah dalam buku “al-khisbah” mengatakan: berbagai urusan manusia di dunia akan lebih sering ditegakkan dengan keadilan meski di dalamnya terkontaminasi dengan berbagai dosa, daripada ditegakkan dengan kedlaliman terhadap hak-hak meskipun tidak terkontaminasi dosa. Selain itu, Ibnu Taymiyyah mengatakan: “Allah menegakkan sebuah negara yang adil meskipun kafir dan tidak akan menegakkan negara dlalim meskipun muslim.” Ia juga mengatakan: Dunia akan bertahan dengan keadilan dan kekafiran dan tidak akan survive dengan kedlaliman dan Islam.

Kendati telah demikian jelas derajad keadilan menurut Islam, keadilan tidak kunjung hadir dalam kesadaran keberagamaan kita. Persoalan ini kita anggap sebagai masalah duniawi yang tak ada sangkut-pautnya dengan kewajiban kita sebagai muslim. Untuk mengukur kesalehan, kita hanya menghitung seberapa taat kita melakukan ibadah mahdlah; shalat, puasa, haji, zakat, baca Qur’an, dzikir dan seterusnya. Islami atau tidak sebuah masyarakat dilihat sekedar dari ramai atau tidaknya masjid, mushalla dan majlis taklim. Tak banyak dari kita yang atas dasar dorongan rasa keislaman melakukan kerja-kerja solidaritas dan pembelaan terhadap kaum mustadz’afiin, mereka yang didlalimi.

Kesadaran keagamaan yang timpang ini mesti diseimbangkan dengan cara pandang yang baru. Bahwa selain soal mengabdi kepada Allah, Islam juga menuntut penegakan keadilan di sekitar kita. Wajah keislaman kita mesti menengadah ke langit serta menekuri bumi. Semangat kita mengejar kefitrian seyogyanya menjadi daya dorong untuk membangun kesalehan kepada Tuhan dan juga kesalehan kepada sesama. Pertanyaan penting adalah sudahkah idul fitri tahun ini mengubah kita menjadi seseorang yang adil dan peduli dengan perjuangan penegakan keadilan?. Wallahu a’lam.


Dituang oleh :

M.Imdadun Rahmad
Design by BlogSpotDesign | Ngetik Dot Com